Oleh: Tim Kajian Strategis Yayasan Konsorsium LSM/Ormas Jepara.
Kabupaten Jepara hingga kini masih mengoperasikan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Bandengan dengan sistem pembuangan terbuka (open dumping). Padahal, sistem ini seharusnya sudah dihentikan paling lambat tahun 2013, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pasal 44 mewajibkan pemerintah daerah menutup tempat pemrosesan akhir dengan sistem terbuka dalam waktu lima tahun sejak undang-undang diberlakukan. Pasal 45 mewajibkan pengelola kawasan menyediakan fasilitas pemilahan sampah sejak undang-undang diundangkan. Dua pasal ini menjadi sinyal jelas bahwa praktik yang masih berlangsung di TPA Bandengan hari ini tidak lagi sah secara regulatif.
Ironisnya, meskipun Pemerintah Kabupaten Jepara telah menyiapkan lahan dan desain teknis pembangunan sistem Refuse Derived Fuel (RDF), serta menggagas penggunaan insinerator di desa-desa mandiri, seluruh inisiatif itu belum diimplementasikan secara nyata. Hambatan birokrasi, ketidakpastian investasi, serta ketiadaan keberanian politik membuat transformasi pengelolaan sampah di Jepara terhenti di wacana.
Padahal, secara hukum, pengelolaan sampah adalah urusan wajib pelayanan dasar, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Permendagri Nomor 33 Tahun 2017. Ini bukan sekadar proyek teknis, tetapi tanggung jawab langsung kepala daerah. Mengabaikannya berarti membiarkan pelanggaran sistemik berlangsung terus-menerus, dengan konsekuensi ekologis dan sosial yang nyata.
Namun, masalah sampah di Jepara tak berhenti di tataran hukum dan teknis. Ia menyentuh lapisan sosial dan budaya masyarakat. Kesadaran memilah dan mengelola sampah secara mandiri masih rendah. Program seperti Desa Mandiri Sampah sudah ada, tapi belum mendapat dukungan sistemik. Partisipasi publik pun belum dijamin dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan. Ini menyebabkan resistensi sosial terhadap proyek-proyek pengelolaan modern, terutama RDF dan insinerator.
Dari sisi filosofis, masyarakat Jepara mewarisi nilai-nilai kearifan lokal seperti selaras dengan alam, kesederhanaan, dan tanggung jawab terhadap bumi. Membiarkan sampah menumpuk tanpa pengolahan bukan hanya persoalan teknis, tapi juga bentuk pelanggaran terhadap prinsip hidup yang diwariskan leluhur. Dari sisi historis, Jepara adalah tanah kelahiran RA Kartini—simbol perlawanan terhadap ketertinggalan. Maka, membiarkan pengelolaan sampah stagnan di tengah kemajuan teknologi adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat emansipatoris itu.
Jepara sebenarnya memiliki semua syarat untuk berubah. Lahan dan dokumen teknis RDF telah tersedia. Beberapa desa sudah mandiri dalam pengelolaan sampah. Investor potensial dan model kerja sama dengan Perumda Aneka Usaha juga mulai terbuka. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk mengambil keputusan politik.
Ada tiga opsi kebijakan strategis yang dapat diambil:
- Membangun RDF di TPA Bandengan, dengan segera menindaklanjuti dokumen DED dan studi kelayakan yang sudah selesai.
- Mengembangkan insinerator skala kecil di desa-desa, dengan skema kerja sama operasi (KSO) bersama BUMDes atau Perumda.
- Menggabungkan keduanya, dengan RDF sebagai solusi skala besar dan insinerator sebagai solusi lokal yang cepat dan terukur.
Namun tanpa arah yang terstruktur, strategi ini akan rapuh. Oleh karena itu, Jepara membutuhkan roadmap Jepara Bebas Sampah 2030—sebuah peta jalan yang menjelaskan tahapan-tahapan transformasi yang konkret.
Roadmap ini perlu dimulai dari penutupan bertahap TPA Bandengan, penguatan program Desa Mandiri Sampah, percepatan investasi RDF, hingga penerapan teknologi insinerator yang sesuai standar lingkungan. Setiap tahun harus memiliki indikator capaian yang jelas, termasuk volume sampah yang diolah, desa yang mandiri, investasi yang masuk, dan perubahan perilaku masyarakat. Tahun 2025–2026 harus difokuskan pada penguatan kelembagaan dan hukum, 2027–2028 pada ekspansi teknologi, dan tahun 2029–2030 sebagai fase konsolidasi menuju sistem pengelolaan sampah berkelanjutan berbasis masyarakat dan teknologi.
*REKOMENDASI STRATEGIS UNTUK PEMKAB JEPARA*
- Segera menetapkan Perda dan Perbup sebagai landasan hukum pengelolaan sampah modern berbasis teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) dan insinerator, termasuk pengaturan perizinan, kelembagaan, dan standar lingkungan.
- Tindak lanjuti dokumen DED dan FS RDF Bandengan dengan langkah konkret: lakukan promosi aktif kepada investor nasional dan internasional, serta fasilitasi insentif investasi berbasis tanggung jawab lingkungan.
- Petakan dan fasilitasi desa-desa yang telah menerapkan sistem pengelolaan sampah mandiri sebagai lokasi percontohan pembangunan insinerator skala kecil berbasis BUMDes, dengan dukungan pelatihan teknis dan sistem monitoring lingkungan.
- Tunjuk Perumda Aneka Usaha Jepara sebagai Badan Pengelola Sampah Daerah atau mitra strategis dalam skema Kerja Sama Operasi (KSO), dengan prinsip akuntabilitas, efisiensi layanan publik, dan transparansi hukum.
- Laksanakan konsultasi publik, edukasi masyarakat, dan pelibatan komunitas lokal dalam seluruh tahapan perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi proyek pengelolaan sampah, untuk membangun legitimasi sosial dan mencegah resistensi di lapangan.
- Susun dan jalankan roadmap Jepara Bebas Sampah 2030 yang memuat tahapan kebijakan, target tahunan, indikator kinerja, dan strategi penguatan kapasitas kelembagaan, guna memastikan transisi sistem pengelolaan sampah berjalan terarah dan berkelanjutan.
Jepara tidak kekurangan modal. Yang kurang hanyalah ketegasan dan arah kepemimpinan. Pemerintah Kabupaten harus memimpin bukan hanya dengan rencana, tapi dengan langkah konkret, partisipatif, dan terukur.
Sampah bisa menjadi berkah, jika dikelola dengan benar. Tapi bisa menjadi bom waktu, jika terus dibiarkan. Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah Jepara bisa berubah, tetapi apakah pemerintah daerah berani memimpin perubahan itu?
*ARAH KEBIJAKQN STRATEGIS*
1. Penguatan DMS Secara Kolaboratif
- DMS tetap digalakkan sebagai basis partisipasi masyarakat.
- Perlu pendekatan insentif dan pelatihan, bukan kontrol langsung.
- DMS menjadi ruang edukasi, pelibatan komunitas, dan filter awal pemilahan.
2. Insinerator Skala Dapil: Modular dan Terukur
- Dibangun di 5 wilayah Dapil Jepara sebagai zona pengolahan sampah wilayah.
- Lebih cepat direalisasikan daripada RDF.
- Dikelola bersama BUMDes atau koperasi lokal, diawasi DLH/Perumda.
- Cocok untuk sampah organik dan residu rumah tangga.
3. TPA Bandengan Harus Ditransformasi Menjadi RDF Center
- Bukan ditutup, tetapi naik kelas menjadi pusat pengolahan skala besar.
- Dibutuhkan sistem pemilahan, pengeringan, dan distribusi hasil RDF.
- Menjadi solusi jangka menengah dan panjang.
4. KSO dengan Perumda Aneka Usaha Jepara: Tergantung Skema KPS
Perumda bisa ditunjuk sebagai operator atau mitra KSO, tetapi harus berbasis:
- Studi Kelayakan
- Skema pembiayaan dan mitigasi risiko
- Tata kelola bisnis dan lingkungan
- Keterlibatan Perumda hanya sah jika skema Kerja Sama Pemerintah dan Swasta (KPS) terpenuhi.
*REKOMENDASI PRIORITAS 2025–2026*
- Tetapkan Perda dan Perbup Pengelolaan Sampah Modern (RDF + insinerator).
- Susun Roadmap Jepara Bebas Sampah 2030 dengan indikator capaian per tahun.
- Laksanakan pilot insinerator per dapil berbasis KSO dengan BUMDes atau koperasi.
- Tindak lanjuti RDF Bandengan dengan promosi aktif ke investor.
- Konsolidasikan Perumda sebagai calon Badan Pengelola Sampah Jepara, dengan legalitas dan transparansi.
- Bangun sistem komunikasi publik dan edukasi warga, khususnya menyangkut manfaat ekonomi dan lingkungan.
Tentang Penulis:
Tim Kajian Strategis Yayasan Konsorsium LSM/Ormas Jepara adalah gabungan akademisi, aktivis lingkungan, dan tokoh masyarakat sipil yang fokus pada advokasi pengelolaan sampah berkelanjutan dan tata kelola pemerintahan daerah.
Hasuma