Jepara ,- Sengketa tanah antara Pemerintah Desa (Pemdes) Daren, Kecamatan Nalumsari, Kabupaten Jepara, dengan Koperasi Unit Desa (KUD) Sumberharjo, Desa Daren, Kecamatan Nalumsari kembali menemui jalan buntu.
Pemdes Daren menilai tanah yang saat ini dikuasai KUD harus dikembalikan, karena berdasarkan Letter C desa, titik koordinat lahan tersebut tidak sesuai dengan catatan kepemilikan KUD.
Untuk mencari jalan keluar, Pemdes Daren melalui Petinggi (Kepala Desa) H. Edy Khumaidi Mukhtar meminta fasilitasi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Jepara. Namun, tiga kali mediasi yang digelar belum juga menghasilkan kesepakatan.
Pada mediasi pertama, pihak KUD hanya diwakilkan. Mediasi kedua, mereka absen. Bahkan pada mediasi ketiga, Selasa (26/8/2025), Ketua KUD H.M. Dahlan kembali tidak hadir dan hanya mengutus pengurus.
*Sejarah Singkat KUD Sumberharjo*
KUD Sumberharjo baru berdiri pada tahun 1985 dan memperoleh pengesahan resmi dari Dinas Koperasi Kabupaten Jepara pada 1996, dengan nomor badan hukum BH.8147d/BH/PAD/KWK.11/X/96.
Fakta ini menimbulkan pertanyaan kritis terkait klaim KUD bahwa tanah yang disengketakan diperoleh melalui tukar guling 1972. Secara kronologis, klaim tersebut tidak logis, karena koperasi secara resmi belum ada saat tukar guling diklaim terjadi.
Sejak berdiri, KUD mendukung perekonomian desa melalui sektor pertanian, peternakan, dan perdagangan hasil bumi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pengelolaan aset koperasi menghadapi tantangan serius terkait transparansi dan kepatuhan hukum.
*Deadlock di Mediasi Ketiga*
Pendamping Pemdes Daren, Dr. Djoko Tjahyo Purnomo, menjelaskan bahwa mediasi ke-3 di BPN Jepara berakhir deadlock. “BPN hanya mengurusi aspek administrasi, bukan bukti material. Sertifikat HGB yang terbit 2019 itu ternyata bersumber dari Letter C 3 Nomor 39. Padahal, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi,” ungkapnya.
Menurut Djoko, ada empat klausul penting dalam pembaruan HGB yang seharusnya dipenuhi:
• Musyawarah desa (Musdes).
• Izin dari Bupati.
• Bukti setoran PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
• Kejelasan titik koordinat lahan.
“Kalau syarat ini tidak terpenuhi, maka status HGB bisa bermasalah. Dan ujung-ujungnya, yang paling dirugikan adalah anggota KUD sendiri,” tegas Djoko.
*Status TKD Harus Jelas*
Dalam forum mediasi, Pemdes Daren menegaskan bahwa tanah yang disengketakan adalah Tanah Kas Desa (TKD). Jika benar demikian, maka lahan itu harus dikembalikan ke desa. Setelah itu, KUD masih bisa menggunakannya, tetapi melalui mekanisme kerja sama pemanfaatan aset desa.
Sayangnya, perwakilan KUD yang hadir dinilai tidak sah secara hukum. Mereka tidak membawa surat tugas, surat kuasa, dokumen tukar guling, izin Bupati, maupun bukti pembayaran PNBP. “Secara yuridis, itu tidak bisa disebut mewakili KUD. Mereka hanya menyampaikan klaim bahwa tanah tersebut hasil tukar guling sejak 1972, tanpa bukti kuat,” tambah Djoko.
*Menuju Mediasi Luar Biasa*
Meski buntu, pihak KUD Sumberharjo berjanji akan menghadirkan langsung Ketua KUD H.M. Dahlan dalam mediasi luar biasa (ke-4) yang dijadwalkan berlangsung Selasa (2/9/2025) di Balai Desa Daren.
Djoko menambahkan, bila ingin membatalkan HGB, jalurnya tidak bisa melalui BPN. “BPN tidak berwenang membatalkan HGB secara administrasi. Proses itu hanya bisa dilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sesuai arahan Kanwil BPN Jawa Tengah,” pungkasnya.
*Analisis: Sengketa yang Tak Boleh Dibiarkan*
Sengketa tanah antara Pemdes Daren dan KUD Sumberharjo menunjukkan bagaimana ketidakjelasan administrasi pertanahan bisa berdampak luas. Bukan hanya pemerintah desa yang kehilangan aset strategis, tetapi juga anggota koperasi yang mestinya memperoleh manfaat justru dirugikan.
Jika persoalan ini dibiarkan berlarut, potensi konflik horizontal bisa muncul di masyarakat. Padahal, tanah kas desa seharusnya menjadi sumber kesejahteraan bersama. Karena itu, langkah hukum yang tegas dan transparansi dari semua pihak menjadi kunci agar sengketa ini segera menemukan titik terang.
[Hasuma]