Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

KAJIAN SOSIOLOGIS, FILOSOFIS, DAN YURIDIS TERHADAP KENAIKAN PBB-P2 ±250% DI KABUPATEN PATI

Sabtu, 09 Agustus 2025 | Agustus 09, 2025 WIB Last Updated 2025-08-09T07:07:17Z





Oleh : Djoko Tp Pembina Yayasan Konsorsium  LSM Jepara

*Pendahuluan*

Jepara,-Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Pati yang disebut mencapai ±250% telah memicu reaksi keras sebagian masyarakat. Reaksi ini dipicu oleh pemberitaan dan penyebaran informasi yang tidak selalu diiringi dengan pemahaman utuh mengenai dasar hukum, alasan kebijakan, serta ruang koreksi yang tersedia.
Kajian ini bertujuan memberikan gambaran komprehensif dari aspek sosiologis (dampak sosial), filosofis (landasan nilai dan tujuan), dan yuridis (dasar hukum dan prosedur), sehingga masyarakat dapat memahami secara jernih tanpa terjebak pada emosi dan potensi kericuhan.

*Kajian Sosiologis*

Dari perspektif sosiologi, kenaikan pajak yang signifikan dapat memengaruhi:

*Kondisi Ekonomi Rumah Tangga*
- Kenaikan PBB-P2 dapat menambah beban finansial masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan tetap dan warga desa yang belum terbiasa dengan perubahan nilai NJOP.

*Kepercayaan Publik*
- Transparansi dalam proses penetapan NJOP dan keterbukaan pemerintah dalam memberikan simulasi perhitungan sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat.

*Potensi Konflik Sosial*
- Kurangnya penjelasan langsung kepada warga berisiko memunculkan isu-isu liar, tuduhan sepihak, dan mobilisasi massa.

*Rekomendasi Sosiologis:*
- Pemerintah daerah perlu mengedepankan komunikasi dua arah dengan forum warga, tokoh masyarakat, dan perangkat desa
- Perlu disediakan skema keringanan atau penyesuaian bertahap untuk kelompok rentan.

*Kajian Filosofis*

Secara filosofis, pajak adalah kontribusi wajib rakyat untuk membiayai penyelenggaraan negara demi kemakmuran bersama (Pasal 23A UUD 1945). Filosofi pemungutan pajak daerah, termasuk PBB-P2, didasarkan pada:

- Asas Keadilan: Beban pajak proporsional dengan kemampuan ekonomi pemilik tanah/bangunan.
- Asas Kemanfaatan: Pajak digunakan untuk membiayai infrastruktur, pelayanan publik, dan pembangunan daerah.
- Asas Kepastian Hukum: Masyarakat harus tahu dengan jelas apa yang menjadi dasar pungutan dan berapa besarnya.

Masalah Filosofis dalam Kasus Pati:
- Kenaikan drastis tanpa sosialisasi memadai bisa dianggap tidak selaras dengan asas keadilan, meskipun secara hukum sah.
- Penyesuaian NJOP memang diperlukan untuk mengikuti harga pasar, namun harus disertai mekanisme yang tidak memberatkan secara tiba-tiba.

*Kajian Yuridis*

Secara hukum, kerangka kenaikan PBB-P2 di Pati adalah sebagai berikut:

*Landasan Hukum Utama*
- UUD 1945 Pasal 23A: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
- UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD): Mengatur tarif maksimal PBB-P2 (0,3% dari NJOP).
- Perda Kabupaten Pati No. 1 Tahun 2024: Menetapkan jenis pajak daerah dan memberi kewenangan kepada Bupati untuk menetapkan teknis pemungutan PBB-P2 melalui Perbup.

*Peraturan Teknis*
- Perbup No. 12 Tahun 2024: Menetapkan NJOP baru.
- Perbup No. 17 Tahun 2025: Merevisi NJOP sehingga menyebabkan lonjakan nilai pajak yang harus dibayar.

Catatan Yuridis Penting:
- Perda tidak menyebut angka 250%, kenaikan tersebut adalah efek dari perubahan NJOP dalam Perbup.
- Warga dapat mengajukan keberatan atau permohonan keringanan berdasarkan UU HKPD dan peraturan turunannya.
- Jika terdapat prosedur yang tidak memenuhi asas keterbukaan dan partisipasi publik, masyarakat memiliki hak untuk menuntut perbaikan kebijakan.

Statemen Bupati pembatalan Kebaikan 250 % PBB P2 

Kalau kita lihat dari sudut pandang yuridis, pernyataan Bupati Pati bahwa “penerapan pajak dibatalkan” tidak otomatis membatalkan dasar hukumnya, karena:

- Perbup No. 17 Tahun 2025 tetap sah dan berlaku sampai dicabut atau diubah.
- Selama perbup itu tidak dicabut atau dinyatakan tidak berlaku, secara hukum perangkat daerah masih berpegang pada ketentuan di dalamnya.
- Pembatalan “secara lisan” atau melalui media bukan mekanisme resmi menurut tata urutan peraturan perundang-undangan.

🔹 Seharusnya, Bupati mengeluarkan:
- Perbup baru yang mencabut Perbup No. 17 Tahun 2025, atau
- Pasal pencabutan di dalam peraturan baru yang menyatakan Perbup tersebut tidak berlaku lagi.
Tanpa langkah ini, status hukumnya akan membingungkan: masyarakat mengira sudah batal, tapi dasar hukumnya masih ada.

Akibatnya:
- Potensi sengketa di kemudian hari jika ada tagihan berdasarkan perbup yang belum dicabut.
- Menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan asas kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945..

*Kesimpulan*

- Secara sosiologis, kenaikan ini berdampak pada daya beli, kepercayaan publik, dan potensi gesekan sosial.
- Secara filosofis, pemungutan pajak harus berlandaskan asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum; kenaikan mendadak bisa menimbulkan kesan ketidakadilan.
- Secara yuridis, kenaikan sah secara hukum karena mengikuti Perda dan Perbup, tetapi proses sosialisasi dan mekanisme transisi perlu dievaluasi.

*Rekomendasi*
- Sosialisasi Intensif: Pemda harus memaparkan simulasi perhitungan dan alasan kenaikan secara terbuka.
- Skema Bertahap: Kenaikan besar sebaiknya dibagi dalam beberapa tahun untuk mengurangi beban warga.
- Fasilitasi Keberatan: Pemda harus menyediakan prosedur mudah dan cepat bagi warga yang ingin mengajukan keberatan atas NJOP atau besaran PBB.
- Pengawasan DPRD dan Partisipasi Publik: DPRD harus mengawal implementasi agar sesuai asas keadilan dan kemanfaatan.



Hasuma
×
Berita Terbaru Update