Jepara ,- Apakah masyarakat Indonesia benar-benar berdaulat atas makanannya sendiri? Apakah kita bisa menentukan apa yang kita makan, siapa yang menanam, dan bagaimana makanan itu diproduksi?
Dalam tulisan opini "Rebut dan Eksekusi Kedaulatan Pangan Sekarang, Bukan Ketahanan Pangan" oleh Zuli Hendriyanto Syahrin, disampaikan satu pesan penting: Indonesia belum berdaulat dalam urusan pangan, dan itu merupakan ancaman serius terhadap masa depan bangsa.
Artikel ini mencoba menjelaskan kembali secara menyeluruh dan mudah dipahami oleh semua kalangan masyarakat, dari petani dan nelayan, guru dan pelajar, hingga pemimpin daerah dan keluarga-keluarga Indonesia.
*Apa Bedanya Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan?*
Ketahanan pangan adalah kondisi di mana pangan tersedia bagi masyarakat, baik melalui produksi dalam negeri maupun impor. Artinya, yang penting ada stok dan bisa dimakan, dari mana pun asalnya. Konsep ini cenderung membuka pintu impor seluas-luasnya, dengan alasan untuk menjaga pasokan dan menekan harga. Sayangnya, ketahanan pangan sering kali justru meminggirkan petani dan nelayan lokal, karena hasil panen mereka kalah bersaing dengan produk impor yang dibanjiri ke pasar.
Sementara itu, kedaulatan pangan adalah kondisi di mana suatu bangsa memiliki kendali penuh atas sistem pangannya sendiri. Negara dan rakyatnya menentukan apa yang ditanam, siapa yang memproduksi, bagaimana distribusinya, dan bagaimana melindungi petani serta konsumennya. Kedaulatan pangan menempatkan produksi lokal sebagai prioritas utama, mendorong keadilan bagi petani, serta memastikan masyarakat makan dari hasil bumi sendiri, bukan dari negara lain.
Dengan kata lain, ketahanan pangan adalah soal "ada makanan", sedangkan kedaulatan pangan adalah soal "siapa yang menguasai dan mengatur makanan itu". Dan inilah yang sedang diperjuangkan dalam tita harus memiliki kedaulatan, bukan sekadar bertahan.
*Mengapa Kita Perlu Segera Berdaulat atas Pangan?*
Pertama, karena Indonesia masih terlalu bergantung pada impor. Kita menjadi salah satu importir gandum terbesar dunia, meskipun banyak potensi pangan lokal seperti jagung, sorgum, singkong, dan sagu belum dikembangkan secara maksimal. Tak hanya gandum, kita juga mengimpor kedelai, beras, jagung, bahkan garam.
Kedua, karena petani dan nelayan kita semakin kehilangan daya saing. Harga pupuk mahal, subsidi tidak tepat sasaran, dan hasil panen mereka dihargai murah. Banyak generasi muda enggan menjadi petani karena dianggap tidak menjanjikan masa depan.
Ketiga, karena sistem pangan kita dikendalikan oleh segelintir kelompok, termasuk para importir dan tengkulak. Mereka bisa memainkan harga, menyimpan stok, atau bahkan menghambat distribusi demi keuntungan pribadi. Sementara rakyat kecil harus menanggung mahalnya harga bahan pokok.
*Siapa yang Harus Bertanggung Jawab dan Berperan Aktif?*
Ada empat pilar penting yang harus berperan dalam mewujudkan kedaulatan pangan.
Pertama, Kementerian Pertanian harus bertransformasi dari sekadar operator proyek pertanian menjadi perancang kebijakan strategis jangka panjang. Mereka harus fokus membangun sistem pertanian modern, irigasi, teknologi, dan pelatihan petani muda.
Kedua, Badan Pangan Nasional harus diberi wewenang kuat untuk mengelola stok pangan, menjaga stabilitas harga, memberantas mafia pangan, dan menjadi pusat kendali sistem pangan nasional.
Ketiga, holding BUMN Pangan seperti ID FOOD harus aktif menghubungkan petani dengan pasar, menyerap hasil panen dengan harga yang adil, membangun cadangan pangan nasional, dan menciptakan sistem distribusi yang efisien dan merata.
Keempat, Kamar Dagang dan Industri (KADIN) perlu mendorong sektor swasta untuk berinvestasi langsung ke pertanian rakyat, bukan hanya menjual produk jadi atau hasil impor. Dunia usaha harus menjadi bagian dari solusi, bukan hanya mengambil keuntungan.
*Apa Solusi yang Bisa Diterapkan?*
Beberapa langkah nyata yang bisa diambil antara lain:
- Membangun sistem data pertanian nasional yang akurat, real-time, dan terbuka agar kebijakan tepat sasaran dan tidak dimanipulasi.
- Mengembangkan pangan lokal seperti jagung, singkong, sagu, dan hasil laut sebagai sumber pangan utama, bukan hanya beras atau gandum.
- Mendorong terbentuknya koperasi petani dan nelayan yang kuat, yang mampu melakukan distribusi sendiri dan menjual hasil panen tanpa tengkulak.
- Membentuk lumbung pangan nasional dan lumbung desa untuk menjaga pasokan saat krisis dan menjaga stabilitas harga.
- Memberikan edukasi sejak dini tentang pentingnya mencintai produk lokal dan menghargai profesi petani dan nelayan.
- Memastikan kebijakan pangan berpihak pada rakyat, bukan pada kepentingan pasar global atau konglomerat impor.
*Apa Dampaknya bagi Masyarakat?*
Jika Indonesia berhasil membangun kedaulatan pangan, maka akan ada banyak manfaat langsung bagi masyarakat:
- Harga bahan pokok lebih stabil dan terjangkau.
- Petani dan nelayan hidup lebih sejahtera.
- Ketergantungan pada impor berkurang.
- Cadangan pangan nasional lebih kuat menghadapi bencana atau krisis global.
- Anak-anak kita bisa makan makanan sehat dan bergizi dari hasil bumi sendiri.
*Pangan adalah Kedaulatan Bangsa*
Pangan bukan hanya soal isi perut. Pangan adalah soal martabat, kemandirian, dan masa depan bangsa. Kita tidak bisa menyebut diri merdeka jika makanan yang kita konsumsi sehari-hari sepenuhnya bergantung pada negara lain. Karena itu, sekaranglah saatnya kita bersama-sama memperjuangkan kedaulatan pangan.
Perjuangan ini bukan hanya tugas pemerintah. Ini adalah tanggung jawab kita semua—rakyat, petani, pelajar, pengusaha, pemimpin daerah, dan orang tua di rumah. Dari desa ke kota, dari sawah ke sekolah, mari rebut kembali kedaulatan pangan kita.
Karena pangan adalah milik rakyat, bukan milik pasar. Karena pangan adalah hak, bukan barang dagangan semata.
Hasuma