Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

*Klaim Tanah Negara oleh Pemerintah Desa: Tinjauan Historis, Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis atas Kasus Dugaan Pencaplokan Lapangan Umum oleh Pemdes Sinanggul*

Senin, 21 Juli 2025 | Juli 21, 2025 WIB Last Updated 2025-07-22T01:54:41Z



Oleh: Tim Advokasi dan Pengamat Publik Yayasan Konsorsium LSM Jepara

Jepara,- *Abstrak*

Tulisan ini mengkaji secara komprehensif dugaan pencaplokan tanah negara oleh Pemerintah Desa Sinanggul, Kabupaten Jepara, berupa pengklaiman sepihak atas lapangan umum yang dibangun melalui swadaya masyarakat pada masa kepemimpinan Petinggi Dipo. Kajian dilakukan melalui pendekatan historis, filosofis, sosiologis, dan yuridis guna memahami akar masalah, dampak sosial, serta kerangka hukum yang berlaku. Secara historis, lapangan tersebut adalah hasil gotong royong masyarakat dan tidak tercatat sebagai aset desa yang sah. Secara filosofis, tindakan klaim tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan tata kelola berbasis kemaslahatan publik. Sementara dari sudut pandang sosiologis, klaim ini berpotensi memecah belah masyarakat dan menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah desa. Secara yuridis, tindakan tersebut berpotensi melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, termasuk UU Desa, Permendagri tentang Aset Desa, UUPA, dan KUHP. Artikel ini merekomendasikan langkah-langkah strategis seperti audit aset, transparansi data, verifikasi hukum oleh BPN, pelibatan masyarakat, serta penegakan hukum jika ditemukan unsur melawan hukum. 
Tulisan  ini bertujuan untuk mendorong penataan ulang tata kelola aset publik di tingkat desa demi mewujudkan keadilan, akuntabilitas, dan harmoni sosial.

*Latar Belakang Masalah*

Berdasarkan laporan media daring Buliran.com (2024), muncul dugaan bahwa Petinggi Desa Sinanggul, Kabupaten Jepara, mengklaim tanah milik negara berupa lapangan umum sebagai tanah hak milik desa. Lapangan tersebut dibangun pada masa kepemimpinan Petinggi Dipo, atas prakarsa dan gotong royong masyarakat, serta diketahui sejak lama digunakan sebagai fasilitas publik untuk kegiatan sosial, budaya, dan olahraga warga desa.
Kasus ini menimbulkan polemik di tengah masyarakat, memunculkan dugaan penguasaan sepihak atas aset negara, dan mengundang sorotan terhadap mekanisme tata kelola aset desa yang seharusnya dijalankan secara transparan, partisipatif, dan sesuai hukum. Dugaan tersebut perlu ditanggapi secara serius agar tidak menjadi preseden buruk dalam pengelolaan tanah negara di desa lain.

*Perspektif Historis*

Lapangan tersebut dibangun pada masa Petinggi Dipo, didanai dan digerakkan secara gotong royong oleh masyarakat, bukan dari APBDes maupun tanah bengkok. Secara historis, keberadaan lapangan ini merupakan bentuk partisipasi warga dalam membangun fasilitas publik untuk kebutuhan sosial dan budaya desa. Maka, secara historis pula, lahan ini dapat dikategorikan sebagai milik negara/publik yang keberadaannya tidak boleh diklaim sebagai milik desa atau pribadi.

*Perspektif Filosofis*

Dalam filosofi tata kelola desa menurut nilai-nilai Pancasila dan keadilan sosial, pengelolaan aset harus berpihak pada kepentingan umum, bukan kelompok atau lembaga tertentu. Prinsip "tanah untuk rakyat" menegaskan bahwa setiap jengkal tanah publik harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan warga, bukan menjadi objek kekuasaan.

*Perspektif Sosiologis*

Klaim sepihak terhadap tanah publik oleh aparat desa berpotensi menciptakan:

- Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa.
- Polarisasi sosial antarwarga desa, terutama antara pihak yang pro dan kontra.
- Terganggunya kohesi sosial dan budaya gotong royong yang telah dibangun sejak lama.

Jika tidak ditangani secara transparan dan adil, hal ini dapat merusak legitimasi pemerintahan desa dan memicu konflik horizontal.

*Perspektif Yuridis*

Menurut hukum yang berlaku:

- UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 76 dan 77 menegaskan bahwa aset desa harus dicatat secara sah dalam daftar inventarisasi aset dan memiliki dasar hukum perolehan yang jelas (hibah, pembelian, atau penetapan dari negara).
- Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa, menjelaskan bahwa tanah negara tidak serta merta menjadi hak milik desa tanpa proses legal formal dari BPN (sertifikasi), disertai dokumen pendukung (akta hibah, SK penetapan, atau lainnya).
- UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa penguasaan tanah oleh pemerintah harus memiliki dasar hak yang sah, bukan klaim sepihak.
- Pasal 385 KUHP dapat dikenakan apabila ada unsur penyerobotan tanah yang bukan haknya secara melawan hukum.

*Analisis Fakta di Lapangan*

Hasil penelusuran   bersama warga menunjukkan sejumlah fakta penting yang memperkuat dugaan klaim sepihak oleh Pemerintah Desa Sinanggul atas tanah negara berupa lapangan umum:

- Fungsi Sosial Lapangan Telah Berlangsung Lama Lapangan tersebut telah berfungsi sebagai fasilitas umum selama lebih dari 30 tahun, digunakan untuk upacara kemerdekaan, kegiatan olahraga, dan latihan seni budaya warga. Keberadaannya selama ini tidak pernah disengketakan, baik oleh desa maupun instansi lain.
- Papan Informasi Baru Dipasang Tanpa Musyawarah Pemerintah desa diduga memasang papan bertuliskan “Tanah Milik Desa” tanpa sosialisasi, musyawarah desa, atau persetujuan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan masyarakat. Ini memunculkan indikasi kuat bahwa langkah ini tidak partisipatif dan melanggar asas transparansi publik.
- Warga Mengajukan Keberatan Tertulis dan Mendapat Tekanan Beberapa tokoh masyarakat yang menyampaikan keberatan bahkan mengalami tekanan sosial dan intimidasi secara halus, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan pembungkaman aspirasi warga.
- Pernyataan Tokoh Agama dan Pemuda Mendukung Klarifikasi Publik Tokoh agama dan pemuda lokal turut mendesak agar permasalahan ini dibuka secara jujur dan legal, agar tidak merusak kepercayaan publik terhadap pemerintahan desa.

*Rekomendasi Kebijakan*

- Audit Aset Publik oleh Inspektorat dan BPKP: Menyelidiki status hukum dan dokumen kepemilikan lapangan tersebut.
- Transparansi oleh Pemdes: Pemerintah Desa Sinanggul harus membuka seluruh dokumen dasar hukum kepemilikan lapangan kepada publik.
- Mediasi oleh Camat dan BPN Jepara: Untuk melakukan verifikasi atas status lahan dan batas-batasnya.
- Pelibatan Masyarakat: Dalam setiap pengambilan keputusan terkait penggunaan dan status lahan publik.
- Peningkatan Literasi Hukum Aset Desa: Melalui pendampingan hukum oleh kejaksaan negeri atau lembaga penyuluhan hukum kepada aparat desa.
- Penegakan Hukum Jika Terbukti Ada Unsur Melawan Hukum: Baik secara administrasi maupun pidana.

*Penutup*

Masalah ini bukan hanya menyangkut status lahan, tapi menyangkut kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya. Sudah saatnya Pemdes Sinanggul membuktikan dengan jujur dan transparan dasar kepemilikan lapangan tersebut. Kepentingan publik harus didahulukan daripada ambisi kelembagaan atau pribadi. Kejelasan hukum atas aset publik merupakan pondasi keadilan dan keharmonisan sosial di tingkat desa.

Hasuma 
×
Berita Terbaru Update