Oleh ,- Tim Kajian Advokasi Pengamat Kebijakan Publik Yayasan Konsorsium LSM Jepara
I. Latar Belakang Masalah.
Kegiatan “Bupati Ngantor di Desa” Sinanggul pada 22 Juli 2025 menuai kontroversi setelah pernyataan Ary Bachtiar yang menyebut bahwa tanah lapangan bola di lokasi bukan aset Pemkab, melainkan aset Pemdes Sinanggul. Hal ini memicu reaksi masyarakat karena status tanah tersebut tidak jelas dan penggunaan lahannya berubah dari lapangan menjadi kios/ruko sejak 2022.
II. Permasalahan Utama.
- Status kepemilikan dan penggunaan tanah tidak jelas.Tercatat sebagai hak pakai Desa Sinanggul berdasarkan Letter C, bukan bukti sah kepemilikan.
- Alih fungsi lapangan menjadi kios dapat melanggar hukum peruntukan hak pakai.
- Kurangnya transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.
III. Analisis Historis.
- Lapangan dibangun secara gotong royong antara warga Desa Sinanggul dan Jambu pada 1970-an saat pemerintahan Bupati Soewarno Djojo Mardowo – Soedikto.
- Fungsi sosial awal adalah ruang olahraga dan interaksi pemuda lintas desa dan ormas.
IV. Analisis Sosiologis.
- Lapangan adalah ruang sosial kolektif yang menjadi simbol persatuan warga.
- Alih fungsi menjadi kios/ruko tanpa persetujuan publik menimbulkan potensi konflik sosial dan menurunnya kepercayaan pada pemdes.
V. Analisa Hukum.
Penguatan Argumen dan Posisi Hukum
1. Hak Pakai Bukan Hak Milik.
Menurut UUPA Pasal 41–43, Hak Pakai hanya memberikan wewenang untuk menggunakan tanah milik negara atau pihak lain sesuai peruntukannya dan dalam jangka waktu terbatas. Bila peruntukannya dilanggar (misal: dari lapangan olahraga menjadi kios komersial), maka Hak Pakai dapat dibatalkan oleh negara melalui BPN.
2. Letter C Tidak Memiliki Kekuatan Bukti Kepemilikan.
Letter C merupakan dokumen administrasi desa yang mencatat subjek dan objek pajak tanah, bukan bukti sah kepemilikan seperti Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Sertifikat Hak Pakai. Oleh karena itu, pembangunan ruko atau pengalihan fungsi atas dasar Letter C tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
3. Potensi Pelanggaran Administratif dan Pidana.
Jika Pemdes Sinanggul memanfaatkan lahan untuk fungsi komersial tanpa melalui mekanisme perubahan peruntukan atau tanpa izin Bupati, maka hal itu:
- Melanggar Permendagri No. 1/2016,
- Dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang,
- Dan membuka potensi kerugian negara/desa yang dapat dijerat melalui UU Tipikor.
VI. Strategi Penyelesaian Konfli
A. Pendekatan Hukum.
- Audit Status Aset oleh Inspektorat & ATR/BPN Jepara
- Periksa status kepemilikan, alas hak, dan pencatatan dalam dokumen resmi negara (BPN).
- Penerbitan Keputusan Bupati untuk menetapkan status hukum tanah tersebut berdasarkan hasil verifikasi yuridis.
B. Pendekatan Sosial Partisipatif.
Musyawarah Desa Khusus (Musdesus).
- Melibatkan semua elemen masyarakat, termasuk Desa Jambu, tokoh masyarakat, dan generasi pendiri lapangan.
- Tujuannya: menyamakan persepsi dan mencari solusi bersama, menghindari konflik horizontal.
Restitusi Sosial.
- Jika terbukti lapangan dibangun oleh dua desa dan ormas, perlu diusulkan bentuk kompensasi sosial atau bentuk pengelolaan bersama yang adil.
C. Pendekatan Administratif.
- Pemdes wajib memperbaiki dan melengkapi data administrasi aset desa: Termasuk Buku Tanah Desa, BMD, Berita Acara Pembangunan, dan Surat Keterangan Riwayat Tanah.
- Moratorium Pemanfaatan Komersial. Hentikan aktivitas kios/ruko hingga proses hukum dan administrasi tuntas.sesuai peruntukannya
- Transparansi dan Klarifikasi Hukum kepada Masyarakat. Pemdes wajib mempublikasikan dokumen aset dan menyampaikan rencana penggunaannya.
- Restorasi Fungsi Sosial Tanah. Jika tidak sah untuk alih fungsi, tanah harus dikembalikan menjadi lapangan terbuka.
- Peningkatan Kapasitas Perangkat Desa. Pelatihan hukum aset desa dan pengelolaan tata ruang perlu dilakukan.
VII . Implikasi Lebih Luas.
Kasus ini memberi pelajaran penting bagi seluruh desa di Indonesia:
- Bahwa tata kelola aset desa harus berdasar hukum, akuntabel, dan partisipatif.
- Bahwa penggunaan ruang publik tidak bisa dilakukan sepihak tanpa legalitas.
- Bahwa Letter C bukan alasan sah untuk mengubah fungsi tanah.
- Bahwa keterlibatan masyarakat adalah kunci dalam mencegah konflik sosial.
VIII. Kesimpulan.
Kasus Lapangan Sinanggul menunjukkan pentingnya dokumentasi aset publik yang kuat, edukasi perangkat desa mengenai hukum pertanahan, dan keterlibatan aktif masyarakat dalam tata kelola ruang publik. Pemerintah daerah dan desa harus segera menuntaskan konflik ini secara terbuka dan hukumiah, agar tidak berujung pada konflik sosial maupun tindak pidana.
IX . Penutup.
Lapangan Bola Sinanggul adalah simbol kolektif, warisan gotong royong, dan aset publik yang tidak bisa diubah begitu saja menjadi objek komersial tanpa dasar hukum dan persetujuan masyarakat. Untuk itu, langkah tegas dan adil perlu segera dilakukan melalui kombinasi hukum, administrasi, dan musyawarah publik yang setara.
"Pamrih pribadi kang ngrebut tanah bebrayan, mung bakal nggawa rubeda lan sengsara marang generasi sabanjure."
Daftar Pustaka Regulasi.
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
- Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
- Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa.
- Permendagri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa.
- Permen ATR/BPN Nomor 3 Tahun 1997 dan Permen ATR/BPN Nomor 16 Tahun 2021.
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 385.
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Hasuma