Jepara ,– Persoalan agraria, terutama yang menyangkut batas dan status kepemilikan tanah di kawasan pesisir, kembali menjadi sorotan. Kali ini, Gendis Cafe yang berlokasi di Pantai Sikembu, Jepara, tengah menjalani proses mediasi atas sengketa batas tanah yang ditempati untuk kegiatan usaha kuliner dan wisata.
Mediasi yang difasilitasi di Balai Desa Mulyoharjo pada Sabtu, 19 Juli 2025, mempertemukan pihak pemilik usaha dengan perwakilan warga, tokoh masyarakat, serta unsur keamanan dari Bhabinkamtibmas dan Babinsa setempat. Meski Petinggi Desa berhalangan hadir karena agenda luar daerah, mediasi tetap berjalan dengan semangat musyawarah.
Itikad Baik sebagai Modal Penyelesaian
Kehadiran Khotib (Malik), pemilik Sari Gendis Cafe, bersama tim penasihat hukum dan perwakilan masyarakat sipil, menjadi sinyal positif dalam penyelesaian konflik ini. Ia bahkan menyatakan kesediaan membongkar bangunan joglo yang masuk dalam area yang disengketakan, sebagai bentuk itikad baik. Langkah ini diapresiasi oleh warga dan aparat, karena menunjukkan semangat rekonsiliasi.
Langkah damai tersebut dilandasi oleh hasil pengukuran yang menunjukkan bahwa tanah SHM (Sertifikat Hak Milik) yang diklaim oleh pemilik hanya seluas 2.199 m², tidak mencakup seluruh area tempat berdirinya joglo. Dengan dukungan pengukuran berbasis satelit dan kehadiran saksi lapangan, langkah penyelesaian diambil secara arif.
Tanah Negara dan Tantangan Tata Kelola Agraria
Kasus ini menyimpan dimensi hukum yang lebih luas, khususnya terkait status hukum tanah negara. Pernyataan dari Dr. Djoko Tjahyo Purnomo, Ketua Dewan Pembina Konsorsium LSM Jepara, bahwa sebagian tanah yang disewakan diduga merupakan tanah negara (sempadan pantai), menyoroti lemahnya tata kelola dan pemahaman hukum atas pemanfaatan lahan di wilayah pesisir.
Jika benar tanah tersebut merupakan aset negara, maka tindakan menyewakan lahan kepada pihak ketiga melanggar ketentuan hukum agraria, khususnya Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan tentang sempadan pantai. Hal ini menuntut perhatian serius dari pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), agar tidak terjadi penyalahgunaan hak atas tanah yang berdampak hukum dan sosial.
Mewujudkan Wisata Berbasis Hukum dan Kepastian Investasi
Pantai Sikembu dan kawasan sekitarnya tengah berkembang sebagai tujuan wisata alternatif. Namun, konflik agraria seperti ini justru menjadi ancaman bagi iklim investasi dan keamanan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal.
Untuk itu, perlu ada langkah lanjutan dari pemerintah daerah berupa:
- Audit dan Penataan Legalitas Tanah Wisata Pesisir BPN dan Pemkab perlu mendata ulang batas dan status lahan di kawasan pesisir, termasuk hak guna, kepemilikan, dan zona larangan.
- Sosialisasi Regulasi Sempadan Pantai – Banyak warga dan pelaku usaha belum memahami batasan dan larangan hukum terkait pemanfaatan tanah negara, terutama di daerah sempadan pantai.
- Fasilitasi Sertifikasi atau Izin Pemanfaatan Tanah (IPPT/HPN) – Untuk usaha yang telah lama berdiri namun belum memiliki kepastian hukum, pemerintah bisa membuka jalur legalisasi secara bertahap melalui skema kerja sama pemanfaatan atau izin resmi sesuai peraturan.
Penutup: Jalan Tengah dan Keteladanan Sosial
Kasus Gendis Cafe menjadi pelajaran penting tentang bagaimana konflik agraria dapat diselesaikan tanpa kekerasan, melalui pendekatan hukum, mediasi sosial, dan itikad baik dari semua pihak. Kehadiran tokoh masyarakat, aparat, dan tim hukum dalam forum dialog yang terbuka adalah cerminan tata kelola konflik yang demokratis dan beradab.
Di tengah tantangan tata ruang dan pesatnya pertumbuhan sektor wisata, penyelesaian kasus ini secara damai patut dijadikan contoh bagi wilayah lain. Jepara, sebagai kabupaten dengan potensi pariwisata besar, tidak hanya butuh promosi, tetapi juga kepastian hukum dan ruang usaha yang adil bagi semua pihak.
Hasuma